Ada
kebiasaan pasar menjelang bulan puasa dan idul fitri. Kebiasaan yang membuat
pusing para ibu-ibu rumah tangga. Kebiasaan yang selalu memdapat ekspos media.
Anehnya, selalu berulang setiap tahunnya. Apalagi kalau bukan meloncatnya
harga-harga kebutuhan pokok, terutama daging sapi dan ayam potong beserta
turunannya seperti telur dan jeroan.
Pemerintah,
khususnya kementrian Perdagangan, seperti tahun-tahun sebelumnya selalu
mengadakan inspeksi mendadak, namun nyaris tidak ada hasilnya. Operasi-operasi
pasar juga dilakukan, sekali lagi hasilnya tetap sama. Harga komoditas daging
sapi dan ayam potong tetap bertengger tinggi.
Di
tengah kondisi tersebut, tentu ada alternatif lain pengganti daging sapi dan
ayam potong. Alternatif lain yang harganya lebih murah, tetapi tetap begizi
tinggi. Salah satu alternatif itu adalah komoditas perikanan, baik darat, payau
maupun hasil tangkapan di laut.
Sebagai
Negara kepulauan yang memiliki luas lautan lebih besar dari daratan, kita
memiliki potensi alam berupa hasil perikanan yang cukup besar. Besarnya potensi
ini sampai membuat ngiler dan tak tahan pelaut dari negera lain ingin juga
mengambil kekayaan alam kita. Bukan hal baru jika kita mendengar banyaknya
nelayan asing yang ditangkap di peraian kita karena pencurian ikan. Yah, kita
meski akui bahwa pengelolaan perikanan kita masih belum maksimal.
Tangerang
sebagai kawasan penyangga minapolitan
juga memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Ada dua wilayah nelayan besar
di pesisir pantai yaitu Kronjo dan Suryabahari. Panjang pantai yang lebih dari
50 KM juga terdapat hamparan-hamparan tambak bandeng. Ditambah lagi
empang-empang yang tersebar disetiap pelosok desa tempat budidaya ikan air
tawar. Sehingga kesediaan ikan untuk wilayah Tangerang dapat tercukupi dengan
baik.
Menggemarkan Makan Ikan
Ikan
memiliki kelebihan dibanding daging sapi dan ayam potong. Ikan memiliki
kandungan gizi yang tinggi. Ikan cocok untuk penderita kolesterol karena rendah
kolesterol, selai itu ikan juga rendah lemak.
Kandungan
gizi yang tinggi membuat banyak pakar menyarankan unuk mengkonsumsi ikan.
Seperti yang disarankan pakar tentang otak dan pembelajaran, Eric Jensen dan
Karen Markowitz, bahwa ikan adalah “makanan otak”. Secara umum, ikan mengandung banyak zat
peningkat kognitif dari pada bahan makanan lain. Karenanya tak heran jika dalam
bukunya yang berjudul “Otak Sejuta Gigabyte” kedua pakar tersebut menempatkan
ikan pada posisi pertama dari sepuluh besar makanan pemacu ingatan mengalahkan
telur di posisi kedua, daging sapi tanpa lemak di posisi keempat, hati ayam di
posisi kelima, dan ayam di posisi ketujuh.
Ada
kisah menarik juga dari buku bejudul “Menembus Batas” yang mengisahkan
perjalanan Budi Setiadi, seorang penarik iuran Himpunan Pedangan Pasar Klewer
Surakarta yang berpenghasilan jauh dibawah UMR (Rp. 450.000/bulan), yang serba
hidup pas-pasan namun mampu mengantarkan anak-anak tumbuh menjadi manusia
cerdas dan mampu duduk di bangku kuliah perguruan tinggi favorit di negeri ini
yaitu UGM dan ITB.
Salah
satu rahasianya karena Budi Setiadi sadar akan pentingnya asupan nutrisi ke
Otak. Budi Setiadi memang tidak dapat memberikan makanan empat sehat lima
sempurna kepada anak-anaknya, namun bapak yang satu ini cukup cerdas menyiasati
keadaan sehingga anak-anaknya mendapatkan nutrisi walau dengan harga yang
relatif murah. Dia banyak memberikan ikan teri untuk dikonsumsi anak-anaknya
karena ternyata ikan teri memiliki kandungan protein tiga kali lipat dari
daging sapi.
Sudah Sampai Mana?
Ikan
dengan potensi ketersediaan yang menjanjikan, kandungan gizi tinggi, banyak
ragam pilihan, dan harga relatif murah mendorong pihak terkait untuk
mengkampanyekanya. Kampanye “Gemar Makan Ikan” sudah digemakan lebih dari
setahun oleh Kementrian Perikanan dan Kelautan. Menarik untuk ditanya sudah
sampai mana kampanye ini?
Nyaris
tak terdengar, untuk mengatakan tidak ada sama sekali gaungnya. Kita nyaris tidak
melihat kampanye “Gemar Makan Ikan” berseliweran di televisi sebagai iklan
layanan sosial. Di Koran-koran juga nyaris tidak ditemukan kampanye yang satu
ini. Apalagi kampanye ini ada dalam kalimat spanduk-spanduk yang dilalulalangi
manusia. Gema kampanye ini hanya ada dilingkup kecil acara dinas. Aundiennya
pun terbatas kepada para pelaku usaha perikanan. Sedangkan, khalayak ramai
sebagai sasaran utama belum disentuh-sentuh.
Padahal
disituasi seperti ini, harusnya digalakkan kampanye yang lebih massif.
Perhatian masyarakat, khususnya kaum ibu rumah tangga, harus dapat diambil dan
ikan ditampilkan sebagai makanan yang layak dipilih karena berbagai
keunggulannya. Jika tidak ada upaya yang luar biasa sama sekali, maka nilai ikan
di mata masyarakat tetap berada jauh di bawah daging sapi dan ayam potong
beserta produk turunannya. Ikan tetap bukan makanan pilihan utama, hanya
makanan kelas dua.
Sayangnya,
gebrakan massif dan luar biasa dari para pemangku kepentingan bidang perikanan
harus ditunggu apakah ada atau tidak. Yah sambil menunggu gebrakan besar, ada
baiknya menengok acara-acara yang melibatkan pemangku kepentingan bidang
perikanan dari mulai dinas sampai pelaku usahanya, apakah disetiap acaranya juga mengkonsumsi makanan
berbahan ikan sebagai menu konsumsinya? Jika belum, berarti masalahnya ada di
tubuh pemangku kepentingannya sendiri.
Ahmad Yunus
Sekretaris Pokdakan Tirta Gintung Sejahtera
sumber: http://penayunus.wordpress.com/2012/07/20/menggemarkan-makan-ikan-sudah-sampai-mana/
Makan ikan memang harus dilestarikan.
ReplyDelete